Gusriyono, Jakarta - Sekitar 50 helai kain songket terbentang dan terpajang di Ruang Pameran Bentara Budaya Jakarta, Jalan Palmerah Selatan No17, Jakarta, 24 November hingga 4 Desember tahun lalu. Pameran bertajuk Replika dan Konservasi Songket Lama Minangkabau itu sebagai langkah awal dari upaya konservasi budaya. Inovasi menarik, barangkali, beberapa songket yang dipamerkan hasil adaptasi dari motif pakaian yang terpahat pada patung-patung dari kerajaan Singasari abad ke 13-14. Motif pakaian pada arca Bhairava dan Syamatara, koleksi Museum Nasional, Jakarta, serta Shiva-Nandhisvara, koleksi Museum voor Volkenkunde, Leiden, terlihat memiliki kemiripan dengan motif kaluak paku, balah kacang, dan tampuak manggih, yang merupakan motif tradisi Minangkabau. Songket yang ditenun dengan bahan sutera ulat dan benang Makau ini mencoba menghubungkan ragam hias Minangkabau dari zaman prasejarah hingga masa kerajaan Hindu-Budha. Meskipun detail motif mengalami perubahan, namun secara garis besar, pola dasarnya terlihat sangat identik. Selanjutnya, pameran yang diselenggarakan Komunitas Pucuk Rebung ini memajang 40 helai songket hasil revitalisasi songket lama, lima helai songket dengan disain kontemporer berbasis tradisi, dan 5 helai songket dengan motif yang ditransformasi dari motif ukir. Selain itu, bentuk songket yang dipamerkan pun beragam, seperti selendang, tingkuluak, balapak, deta, dalamak, ikek dan sarung.Di samping itu, juga dipamerkan pakaian dan perhiasan sebagai pendamping atau pendukung penggunaan songket-songket tersebut. Antara lain, baju kuruang basiba, kodek batik tanah liat, kalung kaban, gelang, dan sebagainya. Semua songket tersebut produksi Studio Songket ErikaRianti, yang beralamat di Jorong Panca, Nagari Batutaba, Kecamatan Ampek Angkek, kabupaten Agam. Adalah pecinta songket asal Bern, Swiss, Benhard Bart, yang melakukan penelitian terhadap songket lama Minangkabau sejak tahun 2000. Ia mendokumentasikan foto-foto dan informasi tentang songket dari berbagai sumber. Seperti, dari koleksi Museum Adityawarman Padang, beberapa museum di Swiss, Belanda, Jerman, Malaysia, dan Singapura. Di samping itu, juga dari koleksi beberapa toko barang antik, kolektor, serta keluarga yang masih menyimpan songket lama peninggalan leluhur mereka. Hingga sekarang, telah terdokumentasi olehnya 1.200 songket lama yang dapat digunakan sebagai referensi bagi upaya revitalisasi sekaligus konservasi warisan budaya yang sangat bernilai ini. Upaya ini tidak dilakukan Benhard sendirian, ia bekerja dengan dukungan istrinya, Erika Dubler, serta pasangan seniman Sumbar, Nina Rianti dan Alda Wimar. Mereka kemudian mendirikan studi songket ErikaRianti pada 2005 lalu, yang dikelola Nanda Wirawan bersama suaminya, Iswandi. Studio ini menghasilkan penenun-penenun muda terampil dan kreatif dalam pengerjaan songket. Studio ini bukan saja sebagai tempat proses kreatif seni tenun, juga sebagai labor eksperimen untuk melahirkan inovasi-inovasi baru dalam teknik pengerjaan songket sekaligus sebagai salah satu sarana pengkajian warisan budaya Minangkabau. Manajemen satu atap diterapkan dalam proses produksinya. Artinya, hal-hal teknis mulai dari pengolahan benang, pencelupan warna, mancukie motif, menenun, hingga finishing, dilakukan dalam satu pengawasan. Sehingga pengontrolan kualitas pengerjaan pada setiap tahapan proses menjadi lebih mudah. Arti Penting Songket LamaBagi pria yang lahir 26 Februari 1947 ini, menghidupkan kembali songket lama Minangkabau itu sangat penting. Sebab, songket lama Minangkabau yang ditenun ratusan tahun lalu itu memiliki nilai artistik tersendiri. Baik dari teknik pembuatan, kekayaan motif maupun fungsi dan kegunaannya. Dalam pengamatannya, songket Minangkabau salah satu kain tenunan tangan terhalus di dunia. Selain itu, kata lulusan Sekolah Tinggi Teknik di Burgdof tersebut, songket Minangkabau tidak hanya tampil sebagai sebuah karya seni dengan segala keindahan dan kehalusannya. Namun juga sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan adat bagi masyarakat Minangkabau. Motifnya, menjadi simbol dari pandangan hidup orang Minangkabau yang sarat nilai filosofis. Tidak hanya sekadar hiasan atau ornamen, yang menampilkan nilai estetika semata. Lebih jauh diungkapkannya, songket-songket lama yang ditenun para leluhur orang Minangkabau dengan ragam hias atau motif yang unik menunjukkan kehalusan cita rasa. Serta, kecerdasan mereka menuliskan ajaran filosofi dalam bentuk simbol yang ditenun sangat halus, dengan nama dan makna tertentu. Dari itu, melestarikan motif berarti melestarikan nilai-nilai kehidupan yang menjadi identitas orang Minangkabau. Hal senada diungkapkan Pimpinan Studio Songket ErikaRianti, Nanda Wirawan, bahwa songket lama Minangkabau itu manuskrip filosofi. Setiap motif yang terkandung dalam sehelai songket mencatatkan ajaran filosofi, tata cara, dan pandangan hidup. Jadi, memiliki sehelai songket bagi sebuah keluarga di Minangkabau, sudah hampir merupakan sebuah keharusan. Karena songket bukan hanya sebatas selendang yang disampirkan di bahu atau sebagai penutup punggung. Lebih dari itu, songket merupakan pakaian yang menyertai peristiwa-peristiwa adat yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat Minangkabau. Sebagai benda adat, ulasnya, songket menjadi media untuk menyimpan pesan bermuatan falsafah alam yang tersirat secara simbolis dalam setiap motifnya. Motif-motif yang dibuat dengan unik dan cerdas sangat memungkinkan kesinambungan nilai-nilai tradisi yang dianut masyarakat Minangkabau tetap terjaga. (*) [ Red/Redaksi_ILS ] source : http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=18795 Padang Ekspres • Minggu, 11/12/2011 08:43 WIB RantauNet : Sunday, December 11, 2011 12:25 PM
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar :
Post a Comment