BEST OFFER : This space is available for you. For inquiries please email soon to : 165mazri@gmail.com

Saturday, December 8, 2012

Hamka dan Dunia Melayu dalam Perkisaran Sejarah

I - Dunia Melayu - SEBELUM Indonesia dan Malaysia serta negara-negara dari dunia Melayu lainnya mempermaklumkan kemerdekaannya sesudah Perang Dunia Kedua di pertengahan abad ke 20 yang lalu, dunia Melayu itu adalah satu kesatuan gugusan budaya yang punya hubungan batin yang erat sekali antara satu sama lain. Bahwa semua dan satu per satu sebelumnya di bawah penjajahan asing, dan bahwa semua dan satu per satu akhirnya ingin merdeka dan melepaskan diri dari penjajahan asing, semua itu adalah bahagian dari mozaik sejarah dunia Melayu itu sendiri. Hanya caranya yang berbeda. Indonesia merebutnya dengan revolusi bertumpah darah, sementara Malaysia dan lain-lainnya menerimanya secara damai melalui jalur diplomatik. Dampak psikologis pasca-peristiwa tentu saja karenanya juga berbeda. Apalagi corak birokrasi yang diwariskan dari masing-masing penjajah itu juga berbeda. Namun sebelum peristiwa besar pembalikan sejarah itu terjadi terasa bahwa lalu-lintas orang dan budaya khususnya antara Indonesia dan Semenanjung Melayu, walau di bawah penjajahan yang berbeda, betapapun, berjalan normal dan malah leluasa. Sebagian besar dari penduduk Malaysia sekarang sejak masa yang cukup panjang ke belakang bahkan berasal dari Indonesia melalui lalu-lintas orang dan budaya secara normal dan wajar itu. Malah di zaman pra-kemerdekaan, di bawah kepeloporan Tan Malaka (Indonesia), Yussof (Singapura), Burhanuddin (Malaysia), dan Rizal (Filipina) sebelumnya, pernah ada ide dan upaya untuk menyatukannya menjadi satu kesatuan kenegaraan berbentuk konfederasi ataupun commonwealth Melayu. Macapagal di awal 1960-an, kendati satu per satu sudah merdeka, bahkan pernah mengusulkan agar dibentuk asosiasi regional dunia Melayu Maphilindo – Malaysia, Philipina, Indonesia--, tapi yang disambut oleh Sukarno dengan teriakan: “Ganyang Malaysia!” Hanya sekarang, ketika masing-masing telah menelusuri jalurnya sendiri-sendiri, dan masing-masing dengan identitas dan hak asasi konstitusionalnya sendiri-sendiri, kelompok Melayu ini bagai bercaran (feuding), bukan berpacaran dan bermesraan. Penyebabnya? Cobalah kita inapkan dan telusuri bersama. Tapi yang jelas penyebabnya mendasar sifatnya, karena ini berkaitan dengan tujuan dan filosofi dari dibentuknya negara oleh masing-masing itu. Di sini sedikitnya bermain tiga unsur budaya yang membentuk jatidiri dari dunia Melayu itu: satu, adat yang tumbuh dari akar budaya dunia Melayu itu sendiri; dua, agama, yaitu Islam yang universal sifatnya yang dianut oleh pukul rata etnik Melayu; dan tiga, modernisme, atau juga globalisme, yang dasarnya adalah rasionalisme dan pragmatisme yang menyelusup masuk dari pengaruh hegemoni dunia Barat di zaman moderen ini. Dikhotomi dan sekaligus polarisasi dunia Melayu yang membelah dunia Melayu itu menjadi dua bagian yang berbeda orientasi budayanya justeru berangkat dari sini, karena berbedanya cara masing-masing meramu alkhemi dari ketiga unsur budaya Melayu itu. Secara garis besar, yang satu meramunya secara sintetik dan yang satu lagi secara sinkretik. Dunia Melayu yang berorientasi ke Semenanjung meramunya secara sintetik, sementara dunia Melayu yang berorientasi ke pusat kekuasaan politik di Jawa, secara sinkretik. Krusial yang menjadi faktor penentu itu adalah sikap mereka terhadap Islam. Yang satu melihatnya secara sintetik-holistik dan menempatkan Islam sebagai sokoguru rujukan tertinggi dari semua pertimbangan apapun, sementara yang satu lagi secara sinkretik yang menempatkan Islam sebagai salah satu dari sumber rujukan budaya, yang semua diperlakukan sebagai sama dan setara, dengan prinsip: “sedaya agami sami kemawon” (J: semua agama sama benarnya). Pertarungan filsafati ini masih bergulir sampai saat ini. Di Semenanjung, karena sumber rujukan intinya adalah ABS-SBK (Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah), sama seperti di bagian dunia Melayu lainnya yang juga menempatkan Islam sebagai superior, berdiri di atas adat, dan di atas semua yang lain-lainnya, masalahnya sudah duduk, yaitu diterimanya Islam di Malaysia sebagai agama negara dan karenanya semua norma apapun tidak boleh ada yang bertentangan dengannya, sementara semua yang sejalan dengan Islam, dari manapun sumber rujukannya, notabene termasuk sendirinya adat, diterima. Di Indonesia, sampai saat ini, filosofi yang dipakai adalah sinkretisme, dengan simbol Pancasila, yang menempatkan semua agama dan unsur budaya lainnya sebagai sama dan setara, walau formalnya yang diakui adalah agama dengan prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjadi Sila Pertama dari Pancasila itu. Jika kacamata yang dipakai dengan lensa sintetis, yang diterima tentu saja hanyalah Islam, karena hanya Islam agama tauhid yang berketuhanan YME itu. Tetapi karena lensa yang dipakai adalah lensa sinkretis, maka yang diterima adalah semua agama dan kepercayaan apapun, sampai-sampai dengan agama Kong Hu Chu yang percaya kepada dewa-dewa dan roh-roh nenek-moyang sekalipun, diterima oleh Gus Dur ketika menjadi Presiden RI dan yang oleh sebagian pengikutnya beliau malah disakralkan sebagai waliyullah. * I tu gambaran sosial-budaya. Lain pula dengan gambaran sosial-ekonomi. Gambaran yang sedikit berbeda juga terjadi di antara kedua belah dunia Melayu ini. Sampai dengan awal 1970-an sebenarnya ada gambaran yang sama dan serupa antara struktur dan sistem ekonomi makro di kedua sisi dunia Melayu itu. Kedua-duanya memiliki pola ekonomi dualistik, dalam arti, dua sistem dengan dua struktur ekonomi yang senjang dan dikotomik walau hidup saling berdampingan secara eksklusif di masing-masing setting sosial-budaya dan sosial-ekonominya itu. Sebagai warisan dari penjajahan yang sifatnya adalah eksploitatif, maka sektor moderen dikuasai oleh minoritas invisibel super-power MNCs yang menguasai jalur ekonomi global, yang lalu dibarengi dan bekerjasama dengan jalur ekonomi minoritas visibel non-pri Cina yang menguasai jaringan perekonomian dan perdagangan, bukan hanya lokal dan nasional, tapi juga regional Nan Yang Asia Tenggara. Sementara kelompok pribumi yang merupakan mayoritas terbesar dari penduduk hidup di sektor ekonomi tradisional, rural, agraris, teknologi sederhana, dan sebagian besar masih bercorak subsistens dari tangan ke mulut, yang karenanya terus menerus dirundung oleh kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan, walau sekarang formalnya telah merdeka sekalipun sejak usainya Perang Dunia Kedua di pertengahan abad 20 yang lalu. Makin bercaran dan terpecah belah kelompok Melayu ini maka makin leluasa pulalah para penguasa ekonomi Nan Yang itu menguasai dan mengendalikan ekonomi dan hajat hidup negara-negara dan masyarakat Melayu di kawasan Nusantara ini. Sehingga akhirnya, seperti sekarang kita melihat, Singapura telah menjadi pusat dari emporium Nan Yang di Asia Tenggara, yang dari Kota Singa ini ekonomi merkantilistik Nan Yang dikendalikan. Sementara etnik Cina di Filipina tidak hanya menguasai ekonomi, tapi juga politik, militer dan sosial-budaya, yang menjurus menjadi seperti Singapura, dengan kelompok pribumi Melayu tersingkir ke pinggiran, ke pedalaman, ke daerah pantai dan ke Selatan. Etnik Cina di Indonesia, yang persentase kependudukan-nya relatif kecil (di bawah 5 %, sementara di Malaysia 37 %) selain menguasai ekonomi secara keseluruhan, juga sekarang ini merembet ke politik, budaya, dan sebentar lagi juga militer, mengikuti jejak sanaknya yang di Filipina, dan Singapura sebelumnya. Semua ini dengan alasan formal sama-sama warga negara yang mempunyai hak dan peluang yang sama yang dijamin oleh konstitusi negara. Yang terjadi lalu adalah hubungan mesra berkolusi yang saling menguntungkan antara penguasa politik pribumi dan pengusaha ekonomi non-pri Nan Yang Cina itu. Di ujungnya yang kita lihat lalu adalah korupsi dan penyalah-gunaan wewenang lainnya yang merajalela, sebagai konsekuensi dari diterapkannya budaya feodalisme dan etatisme sekaligus, dengan perisai demokrasi dan hak asasi manusia. Akan halnya Malaysia, untung saja Mahathir di awal dia memegang kekuasaan di tahun 1970 cepat bertindak, sehingga orang Melayu terselamatkan, dan sekarang telah bisa menegakkan kepalanya di negeri sendiri kendati jalan masih panjang untuk menjadi tuan di rumah sendiri, khususnya di bidang ekonomi. Bagaimanapun, dari penguasaan ekonomi 2 % di tahun 1970, kelompok bumiputera Melayu, dengan dan setelah Mahathir, telah melonjak menjadi di atas 30-an %, dan menyeruak masuk ke semua sektor moderen. Sementara, kelompok pribumi Indonesia di Indonesia sendiri makin terjepit, sebagai akibat dari makin berlanjutnya sistem dan struktur ekonomi dualistik sampai saat ini, dan tetap bermesraannya kelompok penguasa pribumi yang memegang tampuk politik dan kelompok pengusaha non-pri Cina yang memegang dan mengendalikan tampuk ekonomi, industri dan perdagangan. Sebagai efek sampingannya, seperti kita lihat, dunia telah mencap Indonesia sebagai negara termasuk terkorup di dunia. Kolusi antara kelompok konglomerat (hitam) dengan para pejabat berjalan nyaris tanpa hambatan karena yang jalan bukanlah rule of law, di mana right is might, tetapi rule of the authority and power, di mana might is right. Apalagi ekonomi liberal-kapitalistik pasar bebas yang dikembangkan dari luar berjalan secara leluasa seiring dengan feodalisme dan etatisme yang dipusakai secara turun-temurun dari nenek moyang, yang dijunjung tinggi sebagai budaya bangsa. - II - Hamka di tengah kancah Dunia Melayu - Dengan berlatar-belakangkan situasi politik, ekonomi dan sosial-budaya dari kedua sisi pantai Selat Melaka itu sejak awal abad ke 20 yl, yang lazim juga kita sebut sebagai era kebangkitan dunia Melayu, kita sekarang melihat dan menyorot di mana peran Hamka dan para ulama lainnya di dunia Melayu dalam bidang agama khususnya, tapi juga dalam bidang kebangkitan ummat Islam sendiri di dunia Melayu itu umumnya. Namun, sebentar, ada dua jalur dengan dua penekanan yang berbeda dari lalu lintas orang dan budaya antara kedua sisi Selat Melaka itu. Satu jalur orang dan satu lagi jalur budaya. Pemasokan orang ke Semenanjung Melayu telah berjalan sejak berabad, baik sebelum maupun selama dan sesudah penjajahan Inggeris di Semenanjung Melayu. Pemasokan TKI/TKW dalam jumlah hampir tak terkendali seperti sekarang ini hanyalah kelanjutan dari rentetan panjang yang telah berjalan sejak berabad yang lalu, yang sekarang, kebetulan, dipicu oleh lajunya pembangunan di segala sektor di Malaysia. Apalagi karena semua itu secara relatif terencana dan terprogram dengan baik dengan menempatkan kelompok Melayu sebagai Tuan di rumah sendiri, dan dikelola secara relatif sehat dengan mesin birokrasi yang relatif efektif dan efisien, sehingga korupsi dan penyalah-gunaan wewenang dan kekuasaan lainnya juga relatif minimal dan di bawah batas yang masih terkendali. Sebelum dan selama penjajahan Inggeris, ketika dunia Melayu di Semenanjung secara internal masih beraja-raja, seperti juga di banyak dunia Melayu lainnya di seberang Selat Melaka, di bagian Indonesia, pemasokan orang, kecuali dari Sumatera yang memang sendirinya, dengan mengingat proksimitas dari segi apapun, juga dari Bugis, Banjar dan Jawa terutama. Sumatera, Bugis dan Banjar, selain kaitannya dengan kerajaan-kerajaan yang berlatar-belakangkan daerah-daerah tersebut di Semenanjung sendiri, yang artinya, para pendiri kerajaan-kerajaan tersebut berasal dari daerah-daerah Suma-tera, Bugis dan Banjar itu, sementara pemasokan orang untuk keperluan ekonomi, khususnya untuk tenaga kerja di bidang perkebunan, pertanian dan industri pertambangan, didatangkan atau datang dari Jawa masih sejak abad ke 19 yl. Kelompok orang dari Sumatera, Bugis dan Banjar yang mendirikan kerajaan-kerajaan itu, umumnya bergerak di bidang pemerintahan, politik, pendidikan, agama dan ekonomi tradisional dan non-formal. Tegasnya kelompok Sumatera, Bugis, Banjar lebih memilih jalur budaya. Melalui jalur budaya inilah hubungan antara sesama dunia Melayu terasa erat dan dekat. Dan dalam jalur inilah sosok-peranan Hamka dan ulama lainnya dari sebelah Indonesia harus dilihat dalam peranan maupun dampaknya di Malaysia kontemporer sekarang ini. Yang menarik, karena pemasokan orang dan budaya antara Malaysia dan Indonesia selama ini praktis berjalan satu-arah, yaitu dari Indonesia ke Malaysia, dan tidak sebaliknya ataupun timbal-balik, maka yang terlihat adalah juga, sampai seberapa jauh Malaysia telah menggantungkan diri kepada pasokan budaya yang di sepanjang abad ke 20 dan sebelumnya telah memberi isi dan warna kepada kebudayaan Melayu di Semenanjung dan sekarang di Malaysia itu. Jika disederhanakan, maka pemberian isi dan warna dari budaya Melayu yang masuk dari sebelah Indonesia itu dipelopori oleh nama-nama besar yang satu dari antaranya di seuntaian dekade-dekade abad ke 20 tak ayal adalah nama Hamka. Kenapa Hamka? Karena Hamkalah yang merupakan inspirator dan sekaligus artikulator ke mana dunia Melayu itu harus menuju, bagaimana corak budayanya, dan bagaimana dunia Melayu dikaitkan dan menjadi bahagian yang integral dan tak terpisahkan dari dunia Islam di Asia Tenggara dan di dunia Islam lainnya secara menyeluruh. Secara fisik, bagaimanapun, Buya, seperti juga tokoh-tokoh inspirator dan artikulator lainnya dari Indonesia, seperti Natsir, Hatta, Tan Malaka, Zainal Abidin Ahmad, Mahmud Yunus, Kaharuddin Yunus, Sidi Gazalba, dan semua yang mencecahkan penanya ke tinta sehingga buku-bukunya beredar luas dalam masyarakat Melayu di Semenanjung, secara fisik mereka praktis tidak hadir, atau kalaupun ada, minimalis sifatnya. Tetapi secara spiritual, emosional dan intelektual, merekalah yang menjadi sumber inspirasi bagi dunia Melayu ke depan, sama seperti dunia Islam mendapatkan inspirasi dan artikulasi dari tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Ali Jinnah, Muhammad Iqbal, dsb. Mereka yang membangunkan dunia Melayu itu yang kemudian jadi panutan inspiratif bagi masyarakat dan insan Melayu itu, di Semenanjung. Dan semua itu juga ditampin dan disambut oleh tokoh-tokoh Melayu yang telah pula mempersiapkan diri di bumi Semenanjung sendiri, yang kalau dilihat asal-usul satu per satu, datangnya dari bumi Nusantara seberang Selat Melaka jua. Tak kurangnya, ketika orientasi pendidikan, khususnya pendidikan agama, masih berkiblat ke Sumatera, dan khususnya Sumatera Barat, di samping juga Aceh dan Sumatera Timur, ada jalur embrionik yang menghubungkan kedua sisi Selat. Sejak dari zaman Djalaluddin Taher masih dipenggalan abad ke 19 sampai sepanjang abad ke 20, betapa banyak anak-anak Melayu dari Semenanjung yang pergi mengaji dan sekolah ke Sumatera Barat dll itu, yang pusatnya terutama ada di dua kota: Padang Panjang dan Bukittinggi. Puncak dari semua itu tentu saja adalah: pertengahan pertama abad ke 20, di mana sekolah-sekolah agama yang berorientasi moderen, seperti Thawalib, di Padang Panjang dan Parabek, Bukittinggi, Sekolah Kak Amah: Diniyah Puteri, di Padang Panjang, selain juga Ma’had Islamy dan Training College di Payakumbuh dan Madrasah Perti di Candung dan Bangkaweh, Bukittinggi. Malah sampai sekarangpun, kendati sekolah-sekolah di Malaysia sendiri sudah bertumbuh dengan demikian bagus dan majunya, masih saja cukup banyak dari anak-anak Melayu yang pergi sekolah, khususnya sekolah agama, ke kota-kota pendidikan di Sumatera Barat dan Sumatera lainnya. Belum pula, belakangan, ada kerjasama pertukaran mahasiswa antara kedua negara, yang banyak-banyak juga memilih Sumatera Barat sebagai tempat belajarnya. Satu dari faktor pendorongnya adalah hubungan emosional-primordial karena orang tua atau kakek-nenek mereka memang berasal dari sana. * Hamka dalam konteks itu memang berlebih dari semua-semua, karena Hamka menonjol dalam penampilannya dalam banyak segi dan banyak hal. Beliau ya ulama, ya sastrawan, yang filosoof, --failasuf --, ya sejarawan, ya professor-doktor, ya negarawan-politikus, ya mufassir, yang “singanga” pantulannya yang melebihi dari semua-semua, siapapun. Pada hal, di balik itu, pendidikan formal beliau hanya sampai kelas 3 Sekolah Rakyat. Beliau adalah tokoh otodidak tiada duanya. Kekuatan Hamka adalah pada keseimbangan kata dan upaya, sementara katanya itupun bukan hanya yang langsung diucapkan melalui berbagai media dakwah bil lisān, dalam kerumunan sampai ribuan orang, tetapi juga dan terutama melalui media dakwah bil qalam, tulis dan cetak. Puluhan buku telah beliau tulis dan semua tersebar luas di kedua sisi Selat Melaka itu. Sampai ke akhir hayat beliau, beliau memimpin majalah yang semua itu bernada dakwah dan tuntunan. Bermula di Medan, tapi juga di Jakarta. Dan semua beliau puncaki dengan bingkisan ‘magnum opus’ 30 juz Tafsir Al Azhar yang beliau siapkan ketika meringkuk di penjaranya Bung Karno, yang tak lain adalah sahabat beliau sendiri. Lisan dan qalam, lidah dan pena, adalah senjata ampuh beliau dalam berjihad sepanjang umur. Di mana letak kelebihan Hamka? Bukankah yang lain-lainnya juga banyak melakukan hal yang sama? Letaknya pada cara dan sekaligus juga substansinya. Ulama dan inetelektual umumnya memilih salah satu: ulama dengan sentuhan rasa dan emosi, yang suka-suka sifatnya adalah normatif dan imperatif, karenanya menghakimi, dengan selalu mengungkap ayat-ayat dan hadits-hadits serta dengan langgam bahasa yang kearab-araban dan kedaerah-daerahan. Intelektual dengan sentuhan logika dan rasio, dengan bahasa dan ungkapan kata yang sengaja ditinggi-tinggikan sehingga sedikit orang yang bisa faham dan mengerti, lalu sikit-sikit dengan istilah yang sok ilmiah kebarat-baratan, yang makin sedikit yang mengerti malah sepertinya makin disukai. Tanda kita berbeda dari yang lainnya. Hamka? Kedua-duanya, atau dengan cara dia sendiri yang menggabung seluruh cara, ya rasa, ya logika, ya tasawuf-metafisika. Lalu semua dikemas dengan sentuhan bahasa bersastra yang tak mungkin orang tak terkesima. Bahasanya sederhana, bahasa yang difahami oleh semua yang mendengar dan membaca. Dan tentu saja, sebagai orang Minang, yang dilahirkan di tepi danau Maninjau yang syahdu, bahasa bersastra, berpantun, berpepatah-berpetitih, bergurindam-berseloka. Retorikanya bukan hanya dengan bahasa lidah, tapi juga bahasa air muka, bahasa gerak, bahasa badan (body language). Dan dengan suara yang serak-serak basah, khas Buya Hamka. Tapi semua sekenanya. Tidak obsessif. Malah, gaya Buya, sedang enak dihentikan. Setelah Buya membawa odiensnya berkelana entah ke mana, dia lalu seperti tiba-tiba menghentikan. Mari kita berhenti sampai di sini dahulu. Katanya, makan yang enak itu ialah ketika berhenti sebelum kenyang. Sendirinya, odiens akan meneruskan khayalannya masing-masing. Berhari dan berminggu sesudah itu, ucapan Buya itu juga yang menjadi buah-bibir mereka. Begitu di majelis taklim, begitu melalui buku-buku yang beliau karang. Lekat dalam ingatan mereka. * Orang boleh tidak kenal bagaimana sosok Buya Hamka itu, kecuali seperti yang terlihat melalui media cetak dan televisi. Hamka berlebih dari yang lain karena punya aura dan singanga serta kharisma yang utuh. Karenanya, ke manapun dia pergi jarang yang tidak diiringkan, yang sifatnya spontan tak direka-reka. Dan Buya, ke manapun, adalah orang tempat bertanya. Apapun ditanyakan kepada beliau. Dan orang senang mengelilingi beliau. Tapi jangan samakan beliau dengan kiyahi seperti di Jawa, yang tangannya dicium, sisa minuman dan makanannya diperebutkan, air basuhan telapak kakinya dijadikan obat, dsb. Buya Hamka bukan itu. Malah sebaliknya, yang misinya adalah menghapus semua itu untuk kembali kepada ketauhidan yang khalis, murni, tak tercampur dengan syirk, bid’ah dan khurafat apapun. Buya malah marah sekali dengan berkelebihan membawa-bawa adat Minang yang tak sejalan dengan syarak. Beliau sampai tuliskan itu dalam sebuah buku: Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (1963). Hubungan sosial dan sosietal Buya adalah hubungan yang egaliter, bersahaja, yang menempatkan orang dan siapapun sebagai sama dan sederjat. Karena saya termasuk yang cukup dekat mengenal beliau (pernah murid beliau di PTAIN Yogyakarta dan Buya yang memberi rekomendasi untuk meneruskan studi ke McGill Univ di Montreal, Kanada, tahun 1957), yang menonjol dari sosok beliau adalah kepribadian dengan integritas yang utuh, yang santun, dan ramah. Siapapun diperlakukan sama. Ada kehangatan kalau dekat dengan beliau. Ada aura yang menyinar dari diri beliau. Kelebihan beliau bukan hanya itu. Keluar tentu saja pertama adalah karya sastra dan karya agama beliau. Beliau adalah zamrud, zamrud dari dunia Melayu di Khatul Istiwa Nusantara pada zamannya itu. ‘Singanga’ dan echo-pantulan inspirasi Buya berlebih dari lain-lainnya, karena daya-pikatnya yang menjurus ke segala arah. Untuk massa kebanyakan, daya-pikat Buya pertama-tama tentu saja adalah karya sastra dan karya agamanya itu, yang sentuhannya langsung ke ulu-hati massa kebanyakan itu. Walaupun setting cerita banyak-banyak diangkatkan dari peristiwa di seberang Semenanjung, khususnya di Sumatera dan Bugis, namun temanya cocok dan berkenan di hati pembaca, karena apalah arti beda setting dan bahasa budaya di kedua sisi Selat Melaka itu, karena budayanya itu juga: Budaya Melayu. Orang dan rakyat di Malaysia dan di Nusantara lainnya pun merasa seperti membaca diri dan lingkungan sendiri. Apalagi, Buya pandai betul menjalin dan merangkai-rangkaikannya, sehingga orang yang membaca ter-bawa hanyut karenanya. Apalagi karena cara membawakannya itu yang lekat di hati pembacanya. Sisi Buya yang lain, adalah konsistensi. Buya konsisten, tawadhuk, dengan sikap dan pendirian. Buya pandai betul membedakan, mana yang prinsip mana yang taktik, mana yang aqidah mana yang syari’ah mu’amalah. Ketika sampai kepada uluhati persoalan: wa lanā a’mālunā, wa lakum a’mālukum. Lakum dīnukum waliya dīn. (Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. Bagimu agamamu, bagiku agamaku). Tetapi ketika semua itu bisa dipersamakan, dan menyangkut pergaulan dan tenggang rasa untuk semua manusia, maka yang keluar adalah tasāmuh, toleransi, dan kebersamaan, dan kehangatan. Menonjol tentu saja adalah kasus ketika beliau dipercaya menjadi Ketua MUI, yang kalau perlu beliau meletakkan jabatan karena ada hal prinsip yang dilanggar yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk membolehkan ummat Islam ikut bernyanyi (baca sembahyang) di gereja di hari Natal, yang oleh Menteri Agama waktu itu (Jenderal Alamsyah) ditoleransi. Lihat juga cara Buya membawakan diri. Ada kalanya beliau pakai sarung, pakai serban, ada kalanya pakai pantalon, pakai jas pakai dasi. Ketika mengimami di satu mesjid, beliau bertanya dulu, pakai bismillah atau tidak, pakai kunut atau tidak. Beliau menyesuaikan diri dengan yang dipakai di tempat itu. Ada kalanya beliau mencium anak gadis kecil, ada kalanya dengan cukup mencubit pipinya saja. Tapi yang isteri tetap satu, sampai ke akhir hayat. Dan baru berganti ketika yang satu itu sudah duluan pergi. Dan itupun bukan dengan perempuan Sungai Batang, Maninjau, atau Minang, tapi dari Cirebon, Jawa Barat. Yang menonjol dan menjadi daya tarik kuat sekali di kedua sisi Selat Melaka itu ialah integritas diri itu dari Buya, yang nyaris tanpa cacad, dan memantul bagai sinar terang. Apalagi ada suasana sebelum dan ada suasana sesudah era beliau, yang kedua-duanya berada pada sisi yang gelap. Dari pihak Indonesia terutama, ada fenomena yang para pemimpin bangsa itu, sepertinya yang datangnya sekali datang, dan perginya juga sekali pergi. Sehingga kita sekarang pada bertanya-tanya, mana dia yang namanya pemimpin bangsa itu sekarang? Yang ada sekarang itu sepertinya hanya pejabat, penguasa, tetapi tidak pemimpin, apalagi pemimpin rakyat. Dalam sorotan itu kita melihat sosok Hamka, dsb itu, seperti dalam mimpi. Kok ya kita pernah punya tokoh bangsa seperti Buya Hamka itu? *** Ciputat, 1 Muharram 1431 H/18 Des 2009. source : Mochtar Naim HAMKA DAN DUNIA MELAYU DALAM PERKISARAN SEJARAH Disampaikan pada Seminar Serantau “Seabad Buya Hamka,” Universiti Kebangsaan Malaysia,Kuala Lumpur, Malaysia 25 Januari 2010 RantauNet, Wednesday, December 7, 2011 5:24 AM



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar :

Top Stories

Supported by

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
FOR RENT : This running text is ready for rent. For inquiries please email soon to : reservation@rockyplazahotelpadang.com or 165mazri@gmail.com