Dalam salah satu perundingan antara Belanda dengan pihak paderi jelas dicatat oleh Mayor Jenderal de Stuers jika Tuanku Keramat yang sudah tua datang ke Padang untuk mewakili Saidi Muning Tuanku Lintau untuk berunding dengan didampingi oleh Tuanku Saleh dari Talawi dan Tuanku Bawah Tabieng mewakili Tuanku di Guguek Lima Puluh Kota (EB Kielstra, Sumatera Westkust, 1819-1825). Dapat kita bayangkan betapa tinggi semangat juang Tuanku Keramat ini, datang sebagai ulama paderi yang sudah tua, tidak gentar untuk ditipu atau ditangkap, maju ke meja perundingan atas nama rakyat, tidak hanya Lintau tetapi juga Talawi dan Agam. Beliau harus berhadapan dengan Mayor Jenderal Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers, seorang jenderal perang yang sudah berpengalaman di Eropa, lengkap dengan akal bulus dan tipu dayanya. Sejarah mencatat jika perundingan tersebut diselenggarakan di Ujung Karang pada tanggal 29 Oktober 1825 yang kemudian melahirkan perjanjian damai antara Belanda dengan kaum paderi yang ditandatangani di Padang pada tanggal 15 Nopember 1825 yang diiringi dengan bunyi dentuman meriam sebagai penghormatan bagi kedua belah pihak yang menandatangani perjanjian damai tersebut.
Dalam buku Sejarah Nasional Jilid II karya Prof. Nugroho Susanto (1992) disebutkan isi perjanjian antara de Stuers dan Tuanku Keramat sebagai berikut:
1. Belanda mengakui wilayah kekuasan para tuanku-tuanku di Lintau, Talawi dan Agam.
2. Kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan para pedagang.
3. Kedua belah pihak akan melindungi orang-orang yang kembali dari pengungsian.
Apapun yang telah disepakati di dalam perjanjian damai tersebut, jelas jika Belanda menginginkan adanya gencatan senjata di mana sejarah mencatat bahwa perjanjian tersebut merupakan siasat Belanda untuk memusatkan perhatiannya di Jawa yang baru saja diamuk oleh Perang Jawa atau terkenal dengan nama Perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830. Setelah perjanjian damai tersebut dapat dikatakan jika wilayah Lintau atau Minangkabau dalam keadaan aman terkendali. Sebagian para tuanku dan imam paderi kembali menjalini hidup normalnya, namun tidak termasuk Tuanku Keramat yang tetap waspada dan secara intensif menggalang dukungan dari wilayah-wilayah rantau Kerajaan Adat, termasuk ke Negeri Sembilan yang baru saja mengalami suksesi kepemimpinan dari Yamtuan Lenggang kepada putera tertuanya Yamtuan Radin pada tahun 1824.
Membaca isi perjanjian damai tersebut jelas Tuanku Keramat tidak ingin mengganggu kedudukan Belanda di Padang. Justeru Belandalah yang mengganggu bisnis gambirnya dan juga perdagangan rakyat Minangkabau yang mengekspor hasil bumi melalui jalur perdagangan wilayah timur. Menuju Siak dan Penang merupakan tujuan akhir para pedagang Minangkabau yang sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu bahkan sejak jaman Majapahit. Lalu tiba-tiba datang si bule dari Belanda yang merasa berhak mengatur perdagangan rakyat, wajar saja mendapatkan perlawanan hebat dari rakyat Lintau. “Sorry-sorry aja, Bung” gumam Tuanku Keramat dalam hati. Inggris di Penang masih menggunakan sopan santun dengan mengirim utusan Portugisnya, Thomaz Diaz pada tahun 1684 datang menyembah kepada Rajo Adat di Buo agar diijinkan berdagang dengan rakyat Minangkabau di Siak dan Palalawan, Kampar Kiri (http://id.wikipedia.org/wiki/Rajo_Tigo_Selo).
Perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh Tuanku Keramat sebelum perjanjian damai itu juga tidak kalah hebatnya. De Stuers juga mencatat jika bagaimana perlawanan rakyat Talawi yang dilakukan oleh Tuanku Keramat cukup mengacaukan barisan Belanda yang dipimpin oleh Kolonel Raff yang didatangkan khusus untuk menggempur Lintau lewat Atar. Belum lagi bagaimana Belanda harus kehilangan banyak meriam dan pasukannya dalam pertempuran yang melibatkan ribuan rakyat Minangkabau yang dipimpin oleh masing-masing tuankunya untuk mempertahankan Lintau, yang di dalam adat disebutkan sebagai wilayah Rajo Adat di Buo.
Melihat kenyataan ini adalah sesuatu yang mustahil bagi kita untuk percaya kepada pernyataan Belanda yang menyatakan bahwa alasan meletusnya perang paderi hanya karena hal sepele. Sering kita baca dalam banyak buku sejarah disebutkan jika pemicu perang paderi karena adanya pertentangan antara kaum adat dan kaum agama. Pertanyaannya kita adalah “kaum adat yang mana?” Tuanku Keramat yang kita uraikan panjang lebar di sini adalah putera seorang Raja Adat di Buo. Nan Dipertuan Sembahyang yang ditulis Belanda bangkit setelah Lintau ditaklukan adalah seorang Rajo Adat di Buo. Lalu atas dasar apa kita masih mempertahankan pernyataan Belanda tentang sebab-sebab terjadinya perang paderi?
Dalam catatan de Stuers yang direkam oleh EB Kielstra disebutkan jika pada tanggal 9 April 1826, de Stuers menerima sepucuk surat yang ditandatangani oleh Tuanku Lintau, Tuanku di Guguek, Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Keramat yang isinya menuntut Belanda agar menurunkan Sultan Alam Bagagarsyah sebagai Regent Tanah Datar dan menggantikannya dengan Said Salim Al-Jufri dan point yang kedua adalah menuntut agar perijinan atas gelanggang sabung ayam yang selama ini diberikan segera dihapuskan. Ingat bahwa Belanda masih dalam kondisi lemah dan sedang berkonsentrasi terhadap Perang Diponegoro, maka dengan serta merta de Stuers mencabut dan melarang segala bentuk perijinan judi sabung ayam. Tindakan de Stuers ini dengan segera menuai protes yang keras yang diajukan oleh Datuk Pamuncak dari Batipuh sebagaimana termaktub dalam suratnya tanggal 17 Mei 1826, yang isinya sebagai berikut:
"Uw vroeger gegeven bevel ten aanzien van het hanenvechten werd door ons opgevolgd; wij vroegen naar aanleiding daarvan vergunning aan den civielen commandant van Semawang om het hanenvechten te mogen plegen, betalende vier ropijen daags. Nu is ons weder van Uwentwege aangekondigd dat het hanenvechten ten eenemale verboden is en er geene vergunning meer mag worden gevraagd om ons daarmede te vermaken.
"Anda sebelumnya telah memberikan ijin untuk mengadakan gelanggang sabung ayam, kami telah mendapatkan persetujuan dari Komandan Sipil di Simawang, untuk persetujuan tersebut kami membayar 4 rupiah sehari dan sekarang Anda benar-benar telah melarang para lelaki untuk menghibur diri dengan melakukan sabung ayam”
"Het hanenvechten is sedert overoude tijden eene blijvende gewoonte der voorouderen van onze voorouderen geweest, en mitsdien hebben wij met genoegen het geld betaald dat daarop gesteld was, om die oude gewoonte niet voor ons te doen verloren gaan. Nu Mijnheer het hanenvechten ten eenemale heeft doen ophouden, wordt zulks aangemerkt als een maatregel, welke de strekking heeft om de erfelijke gewoonten onzer voorouders omver te werpen.
"Gelanggang sabung ayam merupakan merupakan adat kebiasaan nenek moyang kami sejak zaman kuno dan adat kebiasaan tersebut sudah kami lakukan terus-menerus dari nenek moyang kami hingga sekarang. Kami bersedia untuk membayar sejumlah uang untuk mempertahankan adat kebiasan nenek moyang agar tidak hilang. Sekarang gelanggang sabung ayam sudah dihentikan sebagai adat kebiasaan kami dari nenek moyang turun temurun dan sudah menjadi ukuran hidup kami.
Siapa saja yang membaca surat Datuk Pamuncak dari Batipuh kepada de Stuers pasti akan tertawa terbahak-bahak. Entah adat nenek moyang yang mana yang diungkit-ungkit oleh Datuk Pamuncak. Mungkin saja adat istiadat nenek moyangnya dari “las vegas” sana. Namun bagi yang jeli membaca situasi masa silam, keningnya pasti akan berkerut memperhatikan kenyataan bahwa Datuk Pamuncak dari Batipuh rela untuk membayar sebanyak 4 rupiah untuk setiap hari gelanggang adu ayam dilakukan dibandingkan dengan nilai keuntungan pajak pasar dan keramaian yang ia raup sebagai penyelenggara judi sabung ayam di Batipuh. Artinya berapa banyak asset rakyat yang harus diundi dalam pertarungan dua ekor ayam demi untuk memenuhkan kocek keuangan Datuk Pamuncak?
Setelah kita sedikit kupas dengan fakta-fakta yang ada selama perang paderi berkecamuk di Minangkabau, jelas tidak ada alasan buat kita untuk mengatakan jika perang paderi yang melibatkan Tuanku Keramat sebagai perang antara kaum adat dan kaum agama. Perang paderi adalah bahagian dari perjuangan rakyat Minangkabau membela haknya untuk bebas berdagang dengan siapa saja yang mereka kehendaki dengan harga yang pantas dan mereka setujui. Tuanku Keramat tidak sudi Belanda yang pongah itu datang untuk mengatur bisnis gambirnya dan juga tidak rela melihat rakyat Minangkabau harus ditindas dengan monopoli dagang yang hanya mendatangkan kesengsaraan buat rakyat. Butir-butir perjanjian yang ia buat dengan de Stuers, menggambarkan kepada kita bahwa perjanjian damai itu semata-mata melindungi rakyat dan para pedagang Minangkabau yang sudah beratus-ratus tahun menjalin hubungan dagang dengan orang asing di Siak dan Penang, bukan ke Padang.
Siapapun Tuanku Keramat yang kita paparkan di sini, beliau adalah profil pejuang yang gigih, berani dan perkasa. Keuletannya dalam berdagang secara jujur membuahkan hasil di mana ia adalah konglomerat gambir di wilayah Lintau, Sumpur Kudus dan Talawi. Kesalehannya dalam menjalankan syariat agama menjadikannya sebagai pemimpin umat yang dihormati, bahkan dianggap keramat sebagaimana gelarnya Tuanku Keramat. Seluruh anak nagari di Minangkabau wajib menjadikan Tuanku Keramat sebagai contoh teladan dimana beliau tidak silau kepada tahta kerajaan. Sepanjang hidupnya, beliau mengabdikan diri untuk bangsa dan tanah airnya dan yang terutama agamanya. Beliau tampil maju ke depan untuk meluruskan kembali akhlak rakyat Minangkabau agar tidak menjadi pemimpin yang korup seperti di Pagaruyung saat itu.
Siapapun yang membaca artikel ini dipersilahkan untuk maju ke depan untuk peduli terhadap situs kesejarahan rakyat Lintau yang ada di Padang Lowe Nagari Tepi Selo. Jika di jaman peri-peri dahulu (PRRI) tampil seorang Komandan APRI meyelamatkan situs sejarah tersebut dengan dana dari koceknya, nah.. sekarang mari kita bersama-sama memulai usaha yang serupa untuk menyelamatkan warisan sejarah di Kecamatan Lintau Buo Utara, yaitu makam Ampu Tuan Saleh Tuanku Keramat, harimau tua dari Lintau yang aumannya memporak-porandakan barisan Kolonel Raff saat menggempur Lintau dan membuat kecut de Stuers untuk menandatangani perjanjian damai tanggal 15 Nopember 1825 di Padang seratus delapan puluh enam tahun yang lalu.
Batam, 26 Oktober 2011
Ricky Syahrul
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar :
Post a Comment