BEST OFFER : This space is available for you. For inquiries please email soon to : 165mazri@gmail.com

Friday, October 28, 2011

TUANKU KERAMAT Nan Dipertuan Saleh ibni Nan Dipertuan Hela Perhimpunan (1)

Gambar makam yang kita lihat disebelah kiri ini berada di kampung Padang Lowe di dalam kenagarian Tepi Selo, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar. Masyarakat setempat mengenalnya sebagai makam Ongku Kiramat. Saat PRRI berkecamuk di Minangkabau, salah seorang komandan pasukan APRI menemukan makam ini dan juga sebilah keris masih terhujam di atas makam. Sang Komandan APRI mencari tahu siapa yang dimakamkan di Padang Lowe ini, namun tidak banyak mendapatkan informasi banyak selain banyak keterangan yang ia dapatkan di Buo. Sang Komandan APRI kemudian memutuskan untuk menyelamatkan makam ini lengkap dengan bangunan atap bergonjong yang dibangun di atas makam Ongku Kiramat. Nah, saat sekarang inilah foto makam Ongku Kiramat yang belum lama diambil tetapi kita sudah tidak menemukan lagi keris yang terhujam tersebut. Mungkin sudah diselamatkan Sang Komandan APRI saat itu. Jujur saja kita patut berterima kasih kepada Sang Komandan APRI yang masih mau menyelamatkan keberadaan makam ini. Tetapi siapakah Ongku Kiramat ini?

Kira-kira tiga tahun sebelum sebelum Lintau ditaklukan oleh de Quay dan Veltman, terlihat dari kejauhan seseorang dengan pakaian putih-putih ala paderi sedang memacu kudanya menuju Buo. Utusan itu datang dengan sangat tergesa-gesa seperti ada kabar yang sangat penting yang akan disampaikan. Sepanjang perjalanan ia meneriakkan sesuatu sehingga menarik perhatian banyak orang. Tepat di halaman istana Rajo Adat di Buo, sang utusan langsung turun dari kudanya dan duduk di depan tangga istana sambil menjunjungkan kedua belah tangan ke atas kepalanya. Rupanya kedatangan sang utusan ini adalah untuk mengabarkan kepada keluarga Rajo Adat di Buo, bahwa Tuanku Keramat telah wafat karena usia lanjut.
Sudahlah menjadi adat bagi masyarakat Lintau, jika ada seseorang meninggal dunia maka bako (pihak keluarga dari sebelah ayah) adalah orang yang paling ditunggu kaum kerabatnya untuk memulai penyelenggaraan jenazah oleh kaumnya. Tradisi itu masih berlanjut sampai sekarang di mana pihak bako akan diberikan kehormatan untuk turut serta dalam upacara memandikan jenazah. Dalam aturan adat telah ditetapkan jika bahagian kepala jenazah merupakan hak bako dalam upacara memandikan jenazah. Untuk meyelenggarakan upacara fardhu kifayah ini, pihak bako wajib untuk membawa sehelai kain kafan lengkap dengan pernak-perniknya yang disebut limau kasai, semacam perlengkapan adat untuk penyelenggaraan memandikan jenazah.
Arak-arakan pembawa limau kasai tampak panjang sekali, payung Panji Alam pun juga diturunkan untuk memayungi dulang limau kasai. Tak kurang dari tiga belas dulang dijunjung oleh para ibu di mana masing-masing mereka dipayungi oleh payung mursyid dan payung bakondai. Masing-masing dulang ditutupi oleh kain dulamak yang penuh dengan hiasan benang emas dan tampak agung di atas kepala para ibu tersebut. Tampaknya iring-iringan para pembawa limau kasai ini bukan untuk sembarang orang. Pasti seorang bangsawan tinggi telah wafat sehingga begitu banyak alat-alat kebesaran kebesaran Rajo Adat di Buo harus diturunkan mengawal para ibu pembawa limau kasai ini.
Adalah sejarah lisan yang disampaikan oleh almarhum Haji Sabran Pahlawan Garang, salah seorang pewaris Kerajaan Adat di Buo yang menyatakan jika Tuanku Keramat adalah salah seorang putera dari Nan Dipertuan Hela Perhimpunan Sultan Seri Maharaja Diraja, Rajo Adat di Buo dengan seorang wanita dari Tigo Tumpuek di Talawi, tetapi ada juga keterangan lain menyebutkan bahwa ibunya berasal dari Tanjung Barulak. Nama kecil Tuanku Keramat ini adalah Sutan Saleh, lebih sering dipanggil dengan nama Ampu Tuan Saleh dalam keluarganya (Nan Dipertuan Saleh). Sejak masa remajanya Tuanku Keramat adalah seorang yang wara’ dan taat beribadat. Hidupnya bersih dan betul-betul mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Ia tidak terpengaruh dengan gaya hidup segelintir anak muda Minangkabau yang senang mengadu ayam atau menghisap madat, yang terakhir diketahui sebagai budaya Cina yang masuk ke dalam kehidupan anak nagari.
Tidak ada keterangan tertulis yang menjelaskan siapa keturunan Tuanku Keramat. Dari beberapa keterangan lisan disampaikan bahwa anak cucu Tuanku Keramat masih ada di Tigo Tumpuek, Talawi. Pada tahun 1990, kami berkesempatan untuk bertemu dengan Bapak Sambran dan Bapak Sambiran, dua orang kakak beradik yang mengaku keturunan Tuanku Keramat yang masih anak cucu Sutan Jamil dari Buo. Namun adalah sangat mengherankan jika kemudian makam Tuanku Keramat tidak berada di Talawi, tetapi malah di Padang Lowe dalam wilayah Nagari Tepi Selo, Kecamatan Lintau Buo Utara. Apakah ini berarti jika Saidi Muning salah seorang Imam Paderi yang terkenal dengan gelar Tuanku Lintau, juga merupakan salah satu keturunannya? Ada sedikit kemiripan kisah perjalanan hidup Tuanku Keramat ini dengan ayah Tuanku Lintau sendiri, di mana keduanya dikenal sebagai pedagang gambir di wilayah Lintau dan sekitarnya.
Walaupun Tuanku Keramat adalah anak Rajo Adat di Buo, ia sadar bahwa dirinya tidak berhak untuk menjadi pewaris tahta Raja Adat di Buo menurut adat saat itu. Tuanku Keramat kemudian lebih dikenal sebagai ulama besar dan pedagang gambir yang sukses di wilayah Lintau, Koto Tujueh, Sumpur Kudus sampai ke Kuantan Singingi. Karirnya sebagai konglomerat gambir banyak didukung oleh statusnya sebagai putra Raja Adat di Buo. Banyak kemudahan dalam berdagang didapatkannya, akses yang luas terhadap wilayah-wilayah rantau Raja Adat sudah pasti di dalam genggamannya. Ia mungkin banyak berkenalan dengan para pedagang asing dari Eropa, India, Cina dan juga orang Arab yang kemudian banyak membantunya dalam pengadaan senjata dalam perang paderi di Lintau. Salah satu pemegang tender pengadaan senjata yang ditunjuk oleh Tuanku Keramat dicatat Belanda bernama Said Salim Al-Jufri, seorang pedagang Arab yang cukup terkenal di Batavia dan
Dugaan nama kampung Pamosian yang berada tidak jauh dari Tepi Selo, konon kabarnya berasal dari kata per-Mesir-an, yang berarti tempat orang-orang Mesir. Cukup beralasan memang karena saat itu sudah banyak rakyat Minangkabau yang menjalin hubungan dengan orang-orang timur tengah. Kata Mesir jika dilafalkan dengan logat Lintau asli akan dibaca Mosi-e. Oleh sebab itu dapat disimpulkan jika kampung Pamosian sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Arab dari Mesir yang banyak terlibat dalam perdagangan senjata yang ditukar dengan hasil bumi seperti kopi, lada, cengkeh dan gambir. Komoditi yang disebutkan tadi merupakan barang dagangan yang mendorong Belanda mau turut campur dalam urusan Kerajaan Minangkabau setelah tragedy berdarah di Koto Tangah pada tahun 1809, bahkan dengan senang hati Belanda bersama-sama pasukan bayarannya menggempur Lintau sejak tahun 1821.
Dalam masa itu boleh dikatakan banyak para Tuanku, anak raja bahkan ulama yang terlibat sebagai pedagang atau yang menguasai jalur pedagangan dari Minangkabau melalui daerah-daerah pantai timur Sumatera. Daerah-daerah yang merupakan alur lalu-lalang perdagangan tentunya akan menjadi daerah yang maju dan penting sehingga tidak jarang menjadi rebutan para elit dan penguasa yang juga ingin mengambil peran. Keterlibatan Tuanku Keramat di dalam perang paderi tidak bisa kita abaikan begitu saja. Di samping sebagai pedagang gambir yang sukses, Tuanku Kiramat juga sangat berkilau bintangnya dalam bidang militer di kalangan kaum paderi di Lintau dan Talawi. Mungkin itu sebabnya wajar Sang Komandan APRI yang disebutkan sebelumnya, segera menyelamatkan keberadaan makan Tuanku Kiramat sebagai wujud penghormatan sesama loyalis militer. (Bersambung...)

Batam, 26 Oktober 2011

Ricky Syahrul




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar :

Top Stories

Supported by

Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.
FOR RENT : This running text is ready for rent. For inquiries please email soon to : reservation@rockyplazahotelpadang.com or 165mazri@gmail.com